Selasa, 23 November 2010

karya minimalis SIFINGHANI

Pasar seni lukis Surabaya / Surabaya painting art fair .
Booth : 33 - 34
1 - 11 mei 2009
Balai Pemuda. Jl. Gubernur Suryo 15
Surabaya, East Java. Indonesia

Artist : Alfie Fauzie, Andy Sulistiono, Andreas Widagdo, Arip C Tamam, Bethoro Gluduk B M, Bony Suwandi, Buzz, Dayat, Djunaidi Kenyut, Eko Pacet, Eko Outline, Endy Lukito P, Fauzie, Ferisal, Heng-q, Hen Indira, Ikanov, Imam Sucahyo, Layin, Miranti M T, Nurcholis, Nomo Dwi A, Q-usta, Ricky, Romy Setiawan, Sifin Ghani, Suprihatin, Sutarno Masteng, Taufik, Tito, Tri Wahono, Woro Indah and Yunizar Mursidi.

SERIBU SATU ALASAN ART FAIR DI SURABAYA.

Pameran seni, festival seni, exhibition, art fair, bla bla bla.... merupakan istilah-istilah dalam dunia seni yang menampilkan apresiasi seni lewat karya – di mana tidak dibatasi ragamnya mulai seni lukis, patung, tari, drama, video, new media, dst. Sedangkan istilah Art Fair sendiri yang dalam bahasa Indonesia berarti “pasar seni” akhir-akhir ini sering dipakai dalam even seni skala internasional. Secara umum, istilah art fair mengacu pada kegiatan apresiasi karya seni khususnya seni visual yang ditampilkan dalam bentuk pameran internasional. Melalui Art Fair kemudian berkumpulah unsur-unsur pembangun market seni mulai dari para seniman, galeri, kurator, kolektor, manajer seni, media, dan publik. Para peserta –artis, galeri- yang tampil dalam art fair tersebut dipilih oleh sebuah komite tertentu. Komite tersebut biasanya terdiri dari funder, kurator kawakan, beserta jaringannya, atau bisa juga perwakilan dari pihak pemerintah.

Saat ini hampir tiap negara di dunia – dunia Barat khususnya- tiap tahun mengadakan art fair secara internasional, antara lain: art fair tertua Venice Biennale di Italia, Edinburgh Art Festival di Skotlandia, Adelaide Festival di Australia, Festival d'Avignon di Perancis, Germany Art Fair di Jerman, Art 40 di Basel Swiss, Athens Fringe Festival 2009 yang bekerjasama dengan Edinburgh Fringe Festival.dst. Art fair di atas memiliki scope yang berbeda-beda. Ada art fair yang hanya memamerkan karya seni sebagai bentuk apresiasi murni, yaitu tidak mengkomersilkan karya para artis namun menarik tiket para pengunjung yang datang, contohnya Vennice Biennale di kota Vennice Italia; Lalu ada pula art fair sebagai sarana pendukung pariwisata seperti Art Fair di Malaysia, Singapura, Dubai; atau art fair yang menampilkan karya seni dari galeri-galeri mainstream, seperti Scope Art Fair, Pulse Art Fair dan Bridge Art Fair; ditambah art fair yang khusus tempat gathering para dealer dan galeri saja (semacam balai lelang seni).

Sebuah penghargaan bila artis maupun galeri memperoleh undangan untuk ikut bergabung dalam art fair, karena beberapa komite art fair yang bonafit –memiliki tim berisi para kurator internasional atau karena art fair tersebut sudah berdiri sejak lama, sebut saja Vennice Biennale- amat membantu mereka untuk seribu satu alasan yang masuk akal. Mulai dari urusan perut, pengakuan/identitas hingga urusan politik.

Beberapa tahun terakhir, Indonesia tercinta lewat anak-anak bangsanya berhasil menembus art fair internasional di Asia tenggara. Para artis antara lain : Gede Mahendra Yasa (Langgeng Gallery), Wayan Suja (Vanessa Art Link), J. Araditya Pramuhendra (Canna Gallery), Redy Rahardian (Soka Gallery bekerjasama dengan Nadi Gallery), Yusra Martunus, Handiwirman dan Made Wianta. setidaknya publik Malaysia, Singapura, Korea, Cina sudah pernah menikmati seni visualnya made in Indonesia. Hal tersebut patut dihargai dan dijadikan pecut bagi dunia seni Indonesia, khususnya seni visual. Agar seni visual Indonesia semakin jaya.
Sebelum melangkah lebih dalam, simaklah penggalan kisah pahit sahabat kita Teguh Ostenrik dalam surat pembaca harian Kompas edisi 13 Juli 2008 berjudul Industri Kreatif "Quo Vadis"? yang diceritakan ulang oleh Renny N. Hakim pada minggu 13 Juli 2008 lalu dalam website http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?ID=9483. Teguh Osterik merupakan pematung sekaligus pelukis. Pada Juli 2007 lalu Teguh di undang oleh Artist in Residency Program of Malihom and ABN AMRO di Penang, Malaysia untuk suatu program workshop gabungan seniman internasional dan lokal. Hasil dari program kerjasama para artis internasional tersebut dipamerkan di Kuala Lumpur dan Singapura. Uniknya kepulangan hasil karya si Teguh ke Indonesia tersangkut di Tanjung Priok, Jakarta. Sementara itu biaya gudang untuk hasil karyanya membengkak menjadi 12 juta rupiah dan untuk mengeluarkan hasil karya itu dibutuhkan biaya sampai 65 juta rupiah. Teguh sampai mempertanyakan kepada menteri perdagangan Mari Pangestu tentang bagaimana para seniman bisa memperkenalkan karyanya ke dunia internasional bila pintu gerbangnya kecil dipersulit sehingga pintunya semakin sempit? Nampaknya urusan administrasi dan birokrasi pemerintahan Indonesia belum mengalami perubahan signifikan. Bukan maksud untuk merendahkan seniman, namun umumnya banyak para seniman sendiri yang kurang paham soal administrasi dan tetek bengeknya. Jadi, meski seniman Indonesia sudah mampu menembus pasar seni internasional, siapa tahu pengalaman pahit si Teguh Osterink bisa dialami seniman-seniman selanjutnya. Kejadian yang dialami Teguh benar-benar membuat kebijakan pemerintah Indonesia nampak aneh, bukan? Lalu apa kata dunia nanti?

Yang lebih ironi lagi, para artis Indonesia yang ikut ambil bagian dalam art fair di atas belum ada yang berasal dari kota pahlawan. Padahal kolektor-kolektor besar banyak yang dari jawa Timur, akan tetapi mereka lebih menyukai karya para seniman jakarta, Bandung, Jogja dan Bali. Ada apa sebenarnya? Padahal kalau dihitung dari jumlah institusi yang mencantumkan jurusan ilmu seni di Surabaya tidak sedikit. Sebut saja Universitas Negeri Surabaya, ITS, STKWS, Universitas Petra, Universitas Ciputra dan Stikom, Institusi tersebut menyuguhkan pendidikan seni rupa, seni murni, desain grafis dan desain komunikasi visual . Otomatis mahasiswa jurusan seni di Surabaya tidak sedikit jumlahnya, akan tetapi mengapa gaung seni visual di Surabaya hanya terdengar di sekitar rumah saja? Kenapa galeri-galeri di Surabaya justru menjual karya seniman dari luar Surabaya?

Bila ditengok dari hasil karya para artis Surabaya, sebenarnya ada beberapa karya yang tidak kalah bagus dengan karya artis-artis Indonesia yang sudah berpameran di art fair internasional. Seniman muda Surabaya juga tidak kalah kreatif, mereka bisa membaur bak bunglon dan tetap menghasilkan karya meski tidak banyak yang menjadi seniman profesional. Seakan galeri-galeri di Surabaya menganaktirikan karya seniman Surabaya. Sehingga muncul kesan seniman Surabaya membeku. Unik memang! Kondisi ini mengingatkan kita pada peribahasa “Nrimo Ing Pandum” (pasrah). Meskipun terkesan pasrah, beberapa dari mereka semakin memacu kreatifitas. Yaitu kreatifitas mencari side job sebagai kuli sambil terus berkarya. Kalau tidak memiliki dedikasi terhadap dunia seni, lambat laun para seniman Surabaya kebablasan menjadi kuli.Sekali lagi seribu satu alasan Art Fair di Surabaya......


Sungguh ironi bila kita mencoba membandingkan perkembangan seni Indonesia dengan Malaysia, Singapura dan Cina. Bedanya pemerintahan negara-negara tersebut benar-benar mendukung penuh kelangsungan dan menjadikan seni sebagai aset sekaligus kontribusi devisa negara. Pemerintahan mereka tidak kurang-kurang membuka pertukaran pelajar sekolah seni bahkan memberikan beasiswa sekolah seni ke luar negeri kepada pelajar yang berbakat. Seni beralih fungsi sebagai jalan diplomasi dengan negara lain dan pintu gerbang penghargaan keragaman budaya.

Di Singapura, pemerintahnya memiliki prinsip, sumber terbesar devisa negara berasal dari daya kreativitas warganya. Karena dengan SDM yang berpikir kreatif, toleransi, mampu memecahkan masalah dengan tepat, tim-oriented, motivasi tinggi dan percaya diri, SDM yang kreatif ini bisa mengangkat Singapura menjadi pusat budaya regional Asia. Pemerintah Singapura juga memberlakukan kelas-kelas seni terpadu di setiap institusi pendidikan mereka. Strategi pemerintahan Singapura ini tidak jauh beda dengan strategi pemerintahan Malaysia dan Cina dalam memberdayakan SDM kreatif sebagai aset. Pemerintah Cina yang memiliki moto sebagai pusat peradaban secara progresif mendidik SDM mereka belajar di sekolah-sekolah seni di Cina bahkan sampai ada ayng disekolahkan pemerintah ke luar negeri. Sedangkan Malaysia memiliki strategi dengan membuka pertukaran pelajar dan homestay murah untuk wisatawan asing. Wisatawan asing tersebut secara tidak langsung akan memberikan pengaruh budaya hingga berbagi pengalaman, skill ke SDM di Malaysia.

Mari kita tengok strategi negara yang baru saja dipimpin oleh Obama untuk urusan pelestarikan seni budaya. Kebutuhan pendanaan dunia seni di Amerika begitu mudah diperoleh, karena peran pemerintah diimbangi dengan keberadaan begitu banyak lembaga nirlaba atau yayasan seni independen. Selain itu ada intensif pajak yang mendorong keterlibatan masyarakat dan sektor swasta menyumbang demi kebaikan dan peningkatan mutu hidup warga sendiri.

Baik di Amerika maupun Singapura, pemerintah sering melakukan studi tentang dampak perekonomian guna mengukur seberapa besar kontribusi kegiatan seni –art fair- dalam perekonomian sebuah daerah. Data yang sudah diambil terbukti kegiatn seni mampu memberikan timbal balik berupa mekanisme pajak dan terbukanya lapangan kerja baru.

Lain halnya dengan negara Jerman yang memiliki SDM yang baik untuk urusan seni. Orang Jerman senang mendatangi orkestra, pameran seni, musik, film, dan kegiatan berbau seni lainnya. Meskipun pemerintahannya tidak mengalokasikan dana yang besar dalam bidang seni, namun perolehan pajak pertunjukan di sana sangat mengagumkan. Bahkan salah satu negara bagian di Jerman yaitu Bayreuth meskipun memiliki jumlah penduduk yang amat sedikit setiap tahunnya mampu menarik banyak pengunjung untuk menghadiri Festival Musik Wagner. Tidak heran bila pada akhirnya pemerintah Jerman mau memberikan subsidi orkes –festival musik- sampai 80 persen tiap tahunnya. Tolong Tingginya animo masyarakat Jerman akan seni didukung pula oleh budaya, gaya hidup dan SDM yang memadai.

Surabaya sebelumnya sudah menggelar art fair FSS (Festival Seni Surabaya) yang pelaksanaanya bebarengan dengan hari jadi kota Surabaya. Sayangnya FSS tidak membentuk komite ataupun juri yang serius mensortir semua karya yang masuk, akibatnya karya-karya yang dipajang kurang memenuhi standar.Bahkan Surabaya miskin kurator. Padahal keberadaan kurator amat mendukung eksistensi sebuah karya. Kurator merupakan media perantara seniman dengan penikmatnya –pengunjung, selain keterlibatan media masa tentunya. Mediasi dunia maya yang notabene penghubung praktis dunia seni Surabaya dengan dunia internasional juga kurang memadai. Dalam website terkini pasar seni lukis Surabaya, isinya amat terbatas. Selain itu website tersebut tidak dilengkapi akses bilingual, di mana biasanya para penyelenggara Art Fair internasional setidaknya Jogja Art Fair #2 memberikan akses bilingual dalam website mereka. Akses bilingual membantu para pengunjung maya memilih bahasa pengantar dalam website, sehingga mereka mengerti apa saja yang disuguhkan dalam art fair tersebut.

Kalau menengok kinerja seniman-seniman yang ikut ambil bagian dalam art fair internasional, rata-rata mereka mendedikasikan pekerjaan mereka sebagai seorang seniman profesional. Begitu pula galeri dan jaringannya juga bekerja secara professional. Karya seni mereka dihargai dan dibayar dengan masuk akal dan ada kerjasama saling menguntungkan. Menjadi seniman profesional, seniman non-profit, atau seniman sampingan, tentunya semua kembali pada individu masing-masing. Tetapi bila ingin sesukses art fair internasional yang ada diluar negeri, sikap profesionalisme seniman, galeri dan punokawannya menjadi sesuatu yang amat vital.

Sebenarnya Surabaya bisa menjadi kota seni layaknya Bayreuth di Berlin, Singapura, Malaysia, Jakarta, Jogja. Yang dibutuhkan adalah dukungan dari semua pihak mulai dari SDM –para seniman, kurator, media, galeri dan peran pemerintah bersatu padu membuktikan kepada dunia luar, ada sebuah kota terbesar kedua di Indonesia yang memiliki potensi seni visual yang layak dilihat oleh dunia internasional. Impian tersebut nampak muluk-muluk memang. Namun ketika semua pihak bekerja secara professional mulai dari senimannya sendiri mau belajar lebih giat, lalu kurator yang konsisten, manager seni, galeri, dukungan media –koran, majalah, jurnal, website bilingual interaktif, dukungan penuh pemerintah –subsidi, kemudahan administrasi keluar masuknya karya dari dalam dan keluar negeri, donatur dan tingginya animo masyarakat Surabaya, tentunya bukan hal yang muskil seni visual Surabaya bisa terdengar ke negara lain pun di undang pada perhelatan Art Fair inernasional. Semoga. Amin.

Nana ( alumnus sastra jerman Universitas Negeri Surabaya )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar