Selasa, 03 Juli 2012

lukisan palsu

Kisah Bos Tembakau Diguncang Lukisan Palsu

TEMPO.CO, Jakarta - Dunia seni rupa Indonesia terguncang ketika kolektor kawakan dr. Oei Hong Djien membuka museum seni rupa di Magelang, Jawa Tengah, April lalu. Museum seninya di Magelang menyajikan banyak lukisan Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio, yang diduga palsu. Sejumlah kalangan penikmat seni, juga ahli waris para pelukis mengkritiknya.

Siapa sebenarnya Oei Hong Djien? Lelaki 73 tahun itu dikenal sebagai "raksasa" seni rupa Indonesia. Koleksinya lebih dari 2.000 buah, yang jika ditaksir nilainya mencapai ratusan miliar rupiah. Sudah jadi rahasia umum jika ia juga dikenal sebagai "sinterklas" yang gemar mengangkat perupa muda Yogyakarta menjadi perupa sukses. Ia bahkan dijuluki The Godfather perupa kontemporer Indonesia. (Baca: Diduga Palsu, Koleksi Lukisan Oei Hong Bikin Geger  )

"Setiap hari saya selalu pandang terus-menerus koleksi saya. Saya makin yakin. Bila ada yang menuntut menurunkan, harus ada bukti sangat kuat," katanya.

Oei Hong Djien lahir dari keluarga pengusaha tembakau. Meski lulus sebagai dokter dari Universitas Indonesia dan mengambil spesialisasi patologi anatomi di Katholieke Universiteit Nijmegen, Belanda, Oei memilih menjadi grader (penguji kualitas tembakau) di PT Djarum. Dia dibesarkan di Semarang, Bandung, dan Jakarta. Oei tumbuh dan akrab di rumah yang selalu penuh lukisan, terutama saat dia berdiam di rumah sepupunya di Bandung, Oei Sian Yok, kritikus seni di mingguan Star Weekly. 

Oei menjadi fenomena karena ia aktif menularkan hobinya mengoleksi karya seni kepada rekan-rekan bisnisnya, para pedagang tembakau. "Semula mereka cuma datang untuk dagang. Tapi, karena sering melihat lukisan di rumah saya, mereka akhirnya tertarik juga," kata Oei. Bahkan dia mampu menyebarkan hobinya kepada pengusaha-pengusaha papan atas, seperti Sunarjo Sampoerna, putra taipan Boedi Sampoerna. Ia menjadi salah satu kolektor panutan paling terhormat dan berpengaruh di Asia. 

Oei sebetulnya hendak memberi kejutan. Di museumnya, ia memamerkan karya Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio, yang selama ini jarang diketahui publik. Oei yakin masih banyak karya para maestro Indonesia yang tersembunyi. "Seorang kolektor harus memiliki visi mencari. Justru itu sumbangannya untuk sejarah seni rupa," katanya. 

Yang jadi persoalan adalah seorang kolektor tak hanya harus mencari, tapi juga memastikan bahwa barang yang dibeli memang asli. Apalagi jika lukisan itu berniat dipamerkan ke publik, maka sang kolektor (dan kurator) dibebani tanggung jawab luar biasa. Saat membeli, Oei bertumpu pada mata dan perasaannya sendiri untuk memastikan keaslian lukisan tanpa bantuan ahli lain. Bahkan, untuk membuka museum yang tiketnya dijual seharga Rp 100 ribu per kepala kepada masyarakat umum tersebut Oei menulis sendiri buku tentang apa yang ada dalam museum barunya itu tanpa melibatkan kurator atau sumber lain. 

Untuk memastikan keaslian lukisan tersebut, ia khusus bertanya kepada sahabat tepercayanya di Temanggung, pelukis Kwee In Tjiong, 74 tahun. In Tjiong adalah murid Sudjojono yang juga dikenal sebagai pedagang tembakau.

"Menurut In Tjiong asli," kata Oei. Tempo berusaha mengecek kepada Intjong, tapi dia tampak menghindar. Saat ditelepon, belum-belum ia mengatakan, "Saya tidak tahu lukisan palsu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar