Dilihat dari dinamika perkembangannya, masa-masa penggunaan dan para
seniman kaligrafi di Indonesia dapat dibagi kepada beberapa angkatan:
1. Angkatan Perintis
kedatangan Islam di Indonesia. Bukti kaligrafi paling tua terdapat pada nisan-nisan kuno yang sebahagiannya dibawa dari luar Indonesia.
Sedangkan bukti yang lebih mutakhir diperoleh dari sumber-sumber media
seperti kitab, mushaf Alquran tua atau naskah perjanjian (qaulul haq)..
Aksara Arab pada angkatan ini, digunakan pula untuk naskah-naskah berbahasa Melayu atau Indonesia yang disebut Pegon, huruf Jawi atau huruf Melayu. Kaligrafi lafal La ilaha illallah, Muhammadun Rasulullah dikibarkan pula di panji-panji peperangan terbuka antara pasukan Islam dan non-Islam di Nusantara.
Pada
abad ke-18 sampai abad ke-20, kaligrafi tidak lagi bersumber pada
makam, tetapi beralih kepada kegiatan kreasi seniman Indonesia yang
diwujudkan dalam aneka media seperti kertas, kayu, logam, dan medium
lainnya. Banyak Alquran tua yang ditulis pada waktu ini seiring hadirnya
kertas impor pada abad ke-17. Sejak abad ke-17 dan sesudahnya, ada
kecenderungan seniman muslim untuk menggambar makhluk bernyawa dengan
lafal ayat-ayat Alquran, kaul ulama atau simbol kepahlawanan Ali ibn Abi
Thalib (kaligrafi Macan Ali) dan Fatimah. Karya seperti ini
biasanya merupakan produk keraton Cirebon, Yogyakarta, Surakarta atau
Palembang. Sampai tahun 1960-an, lukisan kaligrafi berwujud binatang
burak atau wayang banyak ditemukan di pelosok Sumatera dan Jawa.
Sampai akhir periode ini, tidak ada khattat atau seniman kaligrafi yang dikenal namanya. Sementara tipe-tipe huruf yang digunakan mengacu ke gaya-gaya Kufi, Naskhi, Sulus, Muhaqqaq, Raihani, Tauqi, dan Riqa’ yang dikenal di Timur Tengah. Kufi dan Naskhi paling banyak digunakan pada makam dan naskah kuno.
2. Angkatan Orang Pesantren
Kaligrafi
mengalami pertumbuhan seiring pertumbuhan pesantren yang dirintis oleh
para wali. Pesantren perintis dikenal antara lain Giri Kedaton,
Pesantren Ampel Denta di Gresik, dan Pesantren Syeikh Qura di Karawang. Pelajaran
kaligrafi diberikan mengiringi pelajaran Alquran, fikih, tauhid,
tasawuf, dan lain-lain. Tulisan yang diajarkan mula-mula sangat
sederhana dan belum bernilai estetis, namun masih mempertimbangkan
gaya-gaya Kufi, Naskhi, dan Farisi yang asal condong ke kanan.
Kesederhanaan
tulisan nampak pada anatomi huruf yang kurang harmoni dengan kaidah,
digunakannya peralatan tulis yang bersahaja seperti tinta dari arang
kuali atau asap lampu (blendok), dan penggunaan media yang hanya
terbatas pada kertas. Pelajaran khat ini umumnya tidak secara resmi
diajarkan dan masuk kurikulum, kecuali di beberapa pesantren seperti
Pondok Moderen Gontor dan cabang-cabangnya. Buku-buku kaligrafi juga
belum banyak dikenal. Buku pelajaran khat pertama keluar tahun 1961
berjudul Tulisan Indah karangan Muhammad Abdul Razzaq Muhili,
seorang khattat pertama yang paling aktif menulis khat di buku-buku
agama, disusul 10 tahun kemudian (1971) buku Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab karangan Abdul Karim Husein dari Kendal.
Pelopor
angkatan ini adalah KHM Abdul Razzaq Muhili dari Tangerang, H. Darami
Yunus dari Padang Panjang, H. Salim Bakasir, Prof. HM Salim Fachry
(penulis Alquran Pusaka atas titah Presiden Soekarno) dari Langkat, dan
KH Rofi’i Karim dari Probolinggo.
Angkatan
teraktif yang menyusul kemudian sampai angkatan termuda tahun 1990-an
antara lain: Muhammad Sadzali, KHM Faiz Abdul Razzaq dan M. Wasi Abdul
Razzaq (ketiganya murid dan anak-anak Abdul Razzaq), K. Mahfuzh Hakim
dari Ponorogo, Rahmat Arifin dari Malang, D. Sirojuddin AR (murid Abdul
Razzaq dan Salim Fachry) dari Cirebon, Ishak dari Jakarta, Nur Aufa
Shiddiq dari Kudus, Ali Akbar dari Purworejo, Chumaidi Ilyas dari
Bantul, H. Irhash A. Shamad dari Padang, dan M. Misbahul Munir (murid
Rofi’i Karim) dari Gresik. Intensitas pengembangan kaligrafi di
Indonesia selanjutnya dipelopori Sirojuddin dengan menulis banyak buku
kaligrafi, pelatihan kader di pelbagai wilayah, dan mendirikan Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka) di Jakarta tahun 1985 dan Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Sukabumi tahun 1998.
Sejak
tahun 1960 hingga 2000-an, pesantren juga memunculkan para khattat yang
sering mengkhususkan diri pada penulisan mushaf, buku agama, dan
dekorasi masjid dengan mengkombinasi gaya-gaya Sulus, Naskhi, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah.
Di antara pelopor dalam bidang ini adalah H. Azhari Noor (dekorator
Masjid Agung Al-Azhar Jakarta), H. Amir Hamzah Zaman, dan H. Basyiroen
Hasan, disusul angkatan muda seperti Abdul Azis Asmuni, Iskandar
Syatiri, Eddy Syakroli, Mahmud Arham, Momon Abdurrahman Syarif, Ujang
Badrussalam, Isep Misbah, Edi Amin, Muksin Sudirja, Syaharuddin, dan
lain-lain.
Tradisi
menghiaskan kaligrafi di bangunan masjid ini tergolong ke masa moderen,
sebab dari data sejarah perkembangan masjid kuno di Indonesia, jarang
atau tidak ada karya kaligrafi Islam di masjid kuno hingga abad XVI yang
asli dibuat di zamannya, kecuali sekedar penggunaan huruf Jawi seperti
di Masjid Mantingan, Jepara dan Masjid Sendangduwur di Paciran, Jawa
Timur.
3. Angkatan Pendobrak dan Pelukis
Pada
saat masyarakat semakin sadar akan arti dan pentingnya seni kaligrafi,
muncullah suatu gerakan untuk “lebih menyadarkan” para
khattat/kaligrafer dan seniman, khususnya kalangan muda, untuk lebih
meningkatkan apresiasi dan teknik mengolah kaligrafi di aneka media yang
tak terbatas. Gerakan ini muncul di tahun 1970-an seiring kemunculan
para pelukis yang mempopulerkan apa yang kemudian disebut “lukisan
kaligrafi” atau “kaligrafi lukis”, untuk membedakannya dari “kaligrafi
murni” atau “kaligrafi tradisional” yang dikenal selama ini.
Pembawa
gerakan ini adalah para seniman kampus seni rupa yang dipelopori oleh
Ahmad Sadali (ITB Bandung, asal Garut), diiringi kemudian oleh A.D.
Pirous (ITB Bandung, asal Aceh), Amri Yahya (ASRI Yogyakarta, asal
Palembang), dan Amang Rahman (AKSERA Surabaya, asal Madura). Para tokoh
seni rupa ini memanfaatkan keluwesan aksara Arab di mana sosok kaligrafi
sangat tegas ditonjolkan dengan penyerasian unsur-unsur rupa lainnya
yang telah lebur dalam gaya pribadi masing-masing seniman dengan
memandang “kaligrafi sebagai bagian integral” dari ide dasar lukisan
yang bermakna religius. Para seniman rupa ini memandang kaligrafi
benar-benar mengandung unsur-unsur ideoplastis yang tidak hanya selesai
pada huruf.
Popularitas
angkatan dan “mazhab kaligrafi lukis” ini mulai muncul dalam Pameran
Lukisan Kaligrafi Islam Nasional saat MTQ Nasional XI di Semarang (1979)
dan pameran pada Muktamar Pertama Media Massa Islam se-Dunia di Balai
Sidang Jakarta (1980) yang diikuti oleh pameran-pameran selanjutnya.
Cara
menggarap “lukisan” kaligrafi yang sangat mementingkan latarbelakang
pewarnaan yang diperoleh dari kepekaan rasa, bersifat spontan dan bebas
sehingga kerap mengabaikan grammar kaligrafi tradisional ini
segera saja diikuti secara luas oleh kaula muda di Tanah Air. Pelukis
generasi kedua yang muncul kemudian, dapat disebut di antaranya, Syaiful
Adnan, Hatta Hambali, dan Abay D. Subarna, disusul kemudian oleh
Firdaus Alamhudi, Hendra Buana, Yetmon Amier, Said Akram, Agoes
Noegroho, Abdul Aziz Ahmad, dan lain-lain. Teknik baru ini segera
menarik dan diikuti para khattat bahkan kalangan yang “sekedar senang”
terhadap kaligrafi karena memungkinkan digarap dalam teknik yang
bermacam-macam seperti teknik batik dan tekstil, teknik grafis, teknik
bulu, teknik ukir kayu, dan bermacam teknik pengerjaan logam, selain
tampilan aneka bentuk ekspresi tiga dimensional yang menawarkan citra
kaligrafi dalam seni rupa Islam moderen.
Meskipun tidak melahirkan gaya khas Indonesia, kecuali Syaiful Adnan dengan gaya Syaifulinya,
beberapa goresan bebas para pelukis kaligrafi Indonesia kerap mendekati
pola kaligrafi kontemporer yang lahir bersama kelahiran seni rupa
kontemporer tahun 1970-an. Gaya-gaya kaligrafi ini adalah: Kontemporer Tradisional, Kontemporer Figural, Kontemporer Simbolik, Kontemporer Ekspresionis, dan Kontemporer Abstrak.
4. Angkatan Kader MTQ
Perkembangan
kaligrafi semakin semarak sejak dijadikan salahsatu cabang yang
dilombakan dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dari tingkat nasional
sampai daerah di seluruh Indonesia.
Cabang yang diberi nama Musabaqah Khattil Qur’an (MKQ) ini selain
menarik peminat, juga berhasil membibitkan kader-kader penulis dan
pelukis kaligrafi dari sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi. Dari
sejumlah peserta MKQ yang menyebar di pelbagai daerah, muncul para ahli
bidang penulisan naskah, hiasan mushaf, dan dekorasi yang dikompetisikan.
MKQ
berpengaruh luas dan menjadi proyek percontohan lomba-lomba kaligrafi
di pelbagai instansi dan pada peringatan hari-hari besar Islam.
Kemunculan lomba-lomba kaligrafi ini memicu minat di pelbagai kalangan
dan ikut mendorong produksi karya di galeri-galeri dan pasar-pasar seni.
Gerakan pembinaan via MTQ yang melahirkan banyak kader dan juara kaligrafi berbuntut pada ramainya keikutsertaan para khattat/khattatah dan
seniman kaligrafi Indonesia dalam Peraduan Menulis Khat Asean di Brunei
Darussalam dua tahun sekali yang selalu dimenangkan (70 %) oleh peserta
dari Indonesia. Beberapa di antara mereka juga tekun mengikuti
International Calligraphy Competition di Turki empat tahun sekali. Para
pelomba ini sangat menguasai gaya-gaya Naskhi, Sulus, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah dan umumnya lihai menentukan kombinasi warna-warna dan ornamen yang menjadi komponen lomba.
Dari
lomba kaligrafi yang dimulai pada MTQ Nasional XI (1981) di Banda Aceh
muncul nama-nama juara yang selanjutnya aktif berkarya di percetakan,
pendekorasian masjid, penulisan mushaf, produksi lukisan atau mengajar
kaligrafi, dapat disebut di antaranya Darami Yunus, Muhammad Wasi,
Mahmud Arham, Humaidi Ilyas, M. Noor Syukron, Ahmad Hawi Hasan, Isep
Misbah, Ery Khaeriyah, Yayat Suryati, Ernawati, Nurkholis, Toni Salaf,
Moh. Midhar Achsan, Hasanuddin, dan lain-lain.
Para
juara aktif MKQ, selain diikuti kader-kader pelomba, telah pula
membakar semangat juara-juara lain untuk mengikuti aktifitas mereka
ko sejarahnya separo-separo mas
BalasHapus