Selasa, 13 September 2011

KALIGRAFI TAK PERNAH MATI

Merosot Sejak Era Amri Yahya
Surabaya – Surabaya Post. Perkembangan dunia seni lukis di Jawa Timur (Jatim), terutama kaligrafi dikatakan oleh salah seorang pelakunya, tidak akan pernah mati. Namun bagi pelukis lain, meski tidak akan pernah mati namun juga tidak “hidup”. Perkembangannya semakin merosot jika dibandingkan dengan tahun 1980-1985 an.

Saat itu, dunia seni lukis kaligrafi terlihat menonjol dan gaungnya juga tidak hanya Jatim tapi menasional. “Apalagi saat itu masih getol-getolnya Amri Yahya (Jogjakarta) dan AP Pirous (Bandung),” kata pelukis kaligrafi senior dari Kediri, M Djuhandi Djauhar yang ditanya tentang perkembangan dunia kaligrafi saat ini (Surabaya Post, 4 September).

Pada saat itu, tambah pria kelahiran Kota Tahu pada 1948 ini, dukungan dan antusias pelukis bergitu terlihat. “Pak Amri dan Pak Pirous, adalah maestro yang jasanya terhadap perkembangan seni kaligrafi Indonesia begitu besar,” jelas Djuhandi yang ditemui saat mempersiapkan pameran bersama di Galeri Surabaya (GS) – Kompleks Balai Pemuda, mulai Jumat (5/9) ini.

Namun sejak kurang berkiprahnya dua pelukis itu, termasuk meninggalnya Amri Yahya, kondisi atau perkembangan dunia seni lukis kaligrafi terus merosot hingga kini. Pameran, kata dia, juga jarang sekali. Kalaupun ada, hampir selalu dikaitkan dengan peristiwa atau hari besar Islam. “Seperti saat Ramadan begini,” kata dia.

Padahal, kata Mantan Pengawas Pendidikan Agama Islam Kandepag, Kediri, hal itu tidak perlu dilakukan. Tidak harus menunggu hari besar Islam atau puasa. Kalau mau pameran, ya pameran saja. Karya yang dihadirkan juga tidak usah dibedakan antara kaligrafi dan lukisan lainnya, baik kontemporer atau pemnadangan.

Rupanya, tambah pelukis kaligrafi lainnya, Bambang Tri ES, kondisi ini sepertinya belum disadari banyak pelukis. Sehingga, kalau pameran juga selalu mencari suasana yang pas, termasuk seperti pameran di GS ini.

Kalau tentang pasar, baik Djuhandi maupun Bambang Tri, sama-sama mengatakan, masih kalah jauh dengan lukisan lain, terutama kontemporer. Namun keduanya, termasuk pelukis lain yang kini pameran di GS, berusaha mengangkat lukisan kaligrafi ke masyarakata. Salah satu caranya juga dengan pameran. Untuk selanjutnya, mereka akan berpameran lebih sering dan tidak terkait dengan hari besar keagamaan, khususnya Islam.

“Seperti AD Pirous itu, meski karyanya dikenal kaligrafi, namun pameran juga dilakukan di mana-mana. Tidak membedakan aliran. Karya Pak Pirous juga tetap mempunyai apresiasi tinggi. Ini yang perlu disadari oleh teman-teman pelukis,” jelas Bambang yang dalam pemerannya menampilkan QS Al Baqoroh 45.

Pameran yang digelar di GS hingga 13 September, tambah Djuhandi, mestinya ada sembilan orang. Namun yang ikut hanya enam orang. Salah seorang pelukis yang dianggap sebagai penggagas, Paib dari Bawean, tidak bisa ikut, karena ada kesibukan di Kuala Lumpur (KL) Malaysia yang tidak bisa ditinggalkan.

Kelompok yang pameran di GS dengan tema “FirmanMu Sumber Keteduhan Hati” ini, rencananya tidak hanya pameran di Jatim dan Indonesia saja tapi juga ke luar negeri. Dan keliling Asia Tenggara. “Mudah-mudahan setelah Pak Paib datang, perencanaan bisa dilanjutkan,” kata dia.(gim)
Surabaya Post, Jumat 05/09/2008 – 10:48:46 |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar